24 Februari 2019

PILEG DI PERSIMPANGAN JALAN




 Sudah banyak opini yang diulaskan dalam tulisan tentang " Politik Indonesia di Persimpangan Jalan."

Namun pada kesempatan ini saya lebih mempertajam pada Pilihan Legislatif  untuk para konstituen yang berada pada PERSIMPANGAN JALAN.

Persaingan yang ketat antara para Calon Legislatig (Caleg) dengan pelbagai konsepnya dan ditambah dengan janji-janji yang ditawarkan bahkan praktik membagi-bagi sesuatu dengan berlabel bantuan sosial sedang dimainkan para aktor caleg saat ini. Mereka berusaha meraih simpatik masyarakat pemilihnya untuk memperoleh kursi Legislatif.

Pemilih di Indonesia dibagi dalam tiga jenis :
1. Pemilih Emosional, yaitu pemilih yang memiliki hubungan emosional yang sangat kuat dengan identitas yang mebentuk dirinya sejak lahir. Identitas itu dapat dalam bentuk paham ideologis, agama dan budaya (kekeluargaan/teman dekat). Para Pemilih ini sering disebut sebagai Pemilih Tradisonal.

Cengiz Erisen (2018) membagi pemilih emosional menjadi dua, pemilih aktif dan pasif. Pemilih aktif emosional sangat gampang diidentifikasi, mereka akan sangat mudah terprovokasi dan sangat cepat merespons isu tersebut.
Ini mudah sekali untuk didapatkan, contohnya di Facebook kalau ada teman anda yang secara aktif dan agresif mem-posting isu politik yang berbau agama dan identitas di halaman media sosial mereka atau aktif memberi komentar yang frontal dan keras, maka mereka bisa dikategorikan dengan pemilih aktif emosional.
Sedangkan pemilih pasif-emosional adalah pemilih yang tidak menampakkan emosinya secara terang benderang, biasanya pemilih ini cenderung menggunakan pola komunikasi diam (silent communication) karena mereka tidak menunjukkan pilihan mereka dan tidak ingin dinilai secara sosial dari pilihan mereka. Biasanya pemilih seperti ini bisa diliat dari artikel yang mereka 'like'.


2. Pemilih rasional-emosional adalah pemilih yang cenderung akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik digaungkan karena mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi dan isu tersebut. Akan tetapi dalam proses penerjemahan informasi tersebut faktor emosional alam bawah sadar masih dominan sehingga proses penerjemahan informasi terdistorsi oleh faktor-faktor yang secara tidak sadar membentuk pola pikir mereka.
Pemilih seperti ini mampu merasionalkan pilihan mereka akan tetapi ketika hal tersebut menyangkut permasalahan ideologis, agama, dan etnis, mereka tidak sanggup memberikan argumentasi yang cukup. Pemilih rasional-emosional adalah tipikal pemilih yang lebih pasif dan suka mengamati. 3. Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi. Proses analisa dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk. Pemilih rasional mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka, dalam artian mereka bisa menjawab secara terinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis.
Mereka tidak segan menjabarkan alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka membuat keputusan tersebut. Anda bisa mendapatkan contoh pada teman atau kerabat anda yang tidak akan sungkan memaparkan pilihan politis mereka secara logis.Dari ketiga kategori pemilih ini yang saya katakan " DIPERSIMPANGAN JALAN." Situasi Politik di |Indonesia pun sangat mempengaruhi pilihan Politik. Fungsi Kepartaian dikebiri oleh 3 jenis pemilih ini. Mesin Partai secara struktural sangat jelas namun dalam praktik justru mesin Politik ini terkukung oleh psikologi kepribadiannya, antara pilihan emosional, rasional-emosional ataupun rasional. Hal ini secara khusus terlihat jelas, Ideologi kepartaian bukan menjadi pilihan seorang yang ingin menjadi Legislatif TETAPI dapatkan saya masuk menjadi Caleg lewat gerbong partai ini ? Jadi tidak heran banyak yang lompat pagar dan "praktik dagang sapi" pun dilakukan oleh Partai. Kenapa di persimpangan jalan ?1. Para pemilih secara individual dengan latar belakang pendidikan yang cukup yang dikategorikan "pemilih Rasional" dalam kenyataan terjerumus dalam kategori Pemilih " Emosional ."2. Bantuan-bantuan yang mengalir untuk komunitas/kelompok ataupun masyarakat menggoyahkan pilihan mereka ditambah lagi "komitmen bersama" dalam komunitas/lingkungan masyarakat.3. Money Politik yang semakin marak akan mencoba menggerogoti para pemilih.4. Kontrak Politik yang dibuat Caleg dengan sekelompok masyarakat/komunitas yang dibuat sebatas pada pemenuhan kebutuhan material tanpa mempertibangkan kualitas caleg dan komitmen demi kepentingan masyarakat luas dan syarat-syarat lain yang bersifat positif.dari keempat situasi yang digambarkan di atas ini, walaupun masih banyak alasan menjadikan pemilih dipersimpangan jalan maka saya katakan Pemilihan (khususnya Pemilihan Legislatif) sebenranya masih pada persimpangan jalan.Bagaimana kita mengarahkan pada pilihan yang tepat ?Saya hanya dapat memberi 2 solusi.1. Disinilah butuh pendidikan Politik baik secara teoritis maupun praktis yang berkesinambungan bukan situasional. 2. Perekrutan Caleg dari Partai harus benar-benar menawarkan kader/calonnya yang berkualitas. Bukan berdasarkan kedekatan, uang dan suara partai yang diperebutkan nanti. Dari Partai inilah yang menciptakan calon-calon handal yang pada saatnya para pemilih memilih " Yang terbaik dar iyang Baik " Bukan " Yang buruk dari yang terburuk "Semoga


0 komentar:

Posting Komentar