Pagi itu langit di puncak kelimutu biru cerah. Tak
terlihat gumpalan awan yang biasanya terlihat berselimut dan berarak
cepat seakan berlomba dengan tiupan angin kencang. Area raksasa super
cantik yang biasanya diselimuti kabut puncak pun tak terlihat. Hari itu
benar-benar cerah dengan pandangan yang bebas tak terhalang. Angin
semilir nan dingin sedikit menyapa kulit tetamu yang tidak terbiasa
dengan daerah moni dan puncak kelimutu.
Pagi itu, Rabu, 14 Agustus itu, Puncak Kelimutu dipadati pengunjung dengan pakaian khas adat Ende Lio. Para lelaki mengenakan ragi mite (kain hitam) dan para perempuan dengan lawo lambu (sarung dan baju ende). Sementara
tidak sedikit juga yang berpakaian bebas santai. Mereka para wisatawan
domestik dan mancanegara yang datang untuk menyaksikan keindahan
panorama Danau Kelimutu
dengan segala keajaiban alamnya. Yang berpakaian adat, adalah para
mosalaki dari 15 persekutuan adat dari desa-desa penyangga Kelimutu,
yakni Mosalaki Konara, Woloara, Pemo, Nuamuri, Mbuja, Tenda, Wiwipemo,
Wologai, Saga, Puutuga, Sokoria, Roga, Ndito, Detusoko dan Kelikiku,
pejabat daerah dan tetamu undangan yang hendak mengikuti ritual adat
“pati ka dua bapu ata mata” atau ritual adat pemberian sesajen bagi
nenek moyang dan arwah.
Prosesi ritual adat Pati “Ka” tersebut diawali dengan “bagi fi’i
atau bagi jata sesajen” berupa 1 porsi nasi dan 1 potong daging yang
diisi dalam wadah piring gerabah kepada 15 mosalaki untuk dipersembahkan
kepada nenek moyangnya masing-masing oleh ketua komunitas adat, Emanuel
Kunu Ndopo. Menurut kepercayaan dari 15 kampung adat tersebut, jiwa
para leluhur dan keluarga mereka yang meninggal bersemayam di kelimutu.
Acara bagi fi’i dilakukan di kaki kawah tiwu nuwa muri (danau
muda/mudi). Setelah bagi fi’i, para mosalaki melakukan prosesi dengan
berjalan kaki menuju “tubuh musu” atau menhir tempat pemberian sesajen
yang berjarak kurang lebih 100 meter dari tempat bagi fi’i.
Di
tubuh musu itu, dengan kusuh para mosalaki duduk mengelilingi tubuh
musu sambil memberikan sesajen. Terlihat mereka begitu kusuh dalam
suasana penuh persaudaraan dan kekeluargaan. Ritual pati ka tersebut
diakhiri dengan gawi sodha mengelilingi tubuh musu.
Emanuel
Kunu Ndopo, dalam sambutannya usai ritual pati ka, di pelataran parkir
kelimutu menegaskan, kepada para mosalaki dari 15 persekutuan adat untuk
tetap menjaga keharmonisan dan kesepakatan bersama. Selain itu
ketulusan dan kejujuran menjadi modal utama, karena dalam ritual
tersebut kita berhadapan dengan nenek moyang sanak keluarga yang telah
meninggal yang tidak lagi dapat dibohongi. “Untuk ritual pati ka dua bapu ata mata
yang kita lakukan hari ini, kita punya porsi yang sama. Karena setiap
mosalaki memberikan sesajen untuk nenek moyang dan sanak keluarganya
masing-masing. Untuk itu di antara ke 15 mosalaki yang ada, tidak ada
yang lebih berkuasa. Masing-masing mosalaki mempunyai kekuasaan wi
wilayahnya sendiri, bukan di wilayah orang lain.” Kata Eman Kunu Ndopo.
Untuk itu, Eman Kunu Ndopo berharap, ritual adat yang sudah berlangsung 5
tahun ini dapat terus berjalan dan dipertahankan.
Sementara
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ende, Marsel Petu
mengatakan, kekuatan yang paling mendasar dalam pelestarian budaya
adalah para mosalaki dan faiwalu ana kalo (masyarakat). hukum adat tidak
bisa diamandemen. Untuk itu, budaya harus tetap dipertahankan dan
dikembangkan dengan melakukan kerja sama yang baik sehingga pada suatu
waktu kebudayaan kita bisa aset yang dapat dijual pada sektor
pariwisata. Untuk itu, yang terpenting, menurut Marsel Petu adalah
saling mengorhati dan junjung tinggi satu sama lain sesuai porsinya
masing-masing.
Mosalaki
Koanara Moni, Antonius Wongga Woda yang ditemuai Humas Pemkab di
sela-sela acara hiburan usai riual pati ka, mengatakan, dirinya sangat
berbahagia. Pasalnya hanya pada saat seperti ini, para mosalaki dapat
beerkumpul dan menyatuhkan hati untuk dapat berkomunikasi dengan para
leluhur. Ia mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah
memfasilitasi upacara tersebut. Dan berharap di tahun-tahun mendatang
ritual adat ini akan tetap terus dilaksanakan dan pemerintah tetap
memberikan perhatian sampai para mosalaki dan faiwalu ana kalo dapat
mandiri. (Min Humas) - saduran dari http://portal.endekab.go.id/
0 komentar:
Posting Komentar