2 Maret 2010

MISTERI HIDUP DAN MATI


Kehidupan berlangsung dari detik menjadi menit. Berjam-jam, hingga hari dibingkai bulan.

Tak terasa telah bertahun-tahun kujelajah dunia ini. Semakin bertambah detik, pisau Sang waktu memangkas jarakku dengan kematian. Kian dekat. Lalu, aku dan kematian tak berjarak.

Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami, kamu dikembalikan. Ada yang pernah bertanya, “Tuhan, tak adakah rencana lain, selain mencipta ‘mati’!”

Aristoteles. Rumus berpikirnya adalah satu kancah yang mengundang setiap pemikir jenial berdecak kagum. Meski di penghujung abad 20, rumus itu digugat untuk “dimuseumkan”. Silogisme, satu rumusan untuk setiap keberadaan bisa diidentifikasi. Dari satu potret realitas umum sebuah keberadaan dirujukkan ke satu partikular, melahirkan pemahaman universal. Pemahaman universal ini berlaku bagi setiap persoalan yang berpaut dengan identifikasi itu.
Seorang dari Perancis menggugat silogisme itu, ribuan tahun setelah kematian Aristoteles. Orang-orang menyebutnya “si buruk rupa”. Buruk rupa menggugat: Siapa yang pernah mengidentifikasi seluruh umat manusia? Terlalu berani Aristoteles membuat premis mayor “Semua manusia pasti mati”. Premis ini bukan buah pikir akal yang sehat.

Jika masih ada bayi yang lahir, selama manusia masih terus lahir, maka belum bisa diketahui apakah setiap orang yang lahir kelak mengalami mati. Sangat mungkin ada orang yang hidup terus. Sangat mungkin, ada orang yang umurnya sudah ribuan tahun jauh hari sebelum Aristoteles lahir dan tidak akan mati. Mungkin dia bersembunyi di salah satu belahan bumi ini. Atau, kelak ada bayi yang lahir dan terus hidup selamanya. Siapa tahu!

“Semua manusia pasti mati”, premis mayor temuan Aristo belum bisa dibuktikan. Karena peradaban manusia masih belum berhenti. Boleh jadi ada orang yang tidak mengalami mati.

“Premis mayor itu gagal sebagai proyek pemahaman universal. Kemudian, jangan berharap premis minor dari silogisme itu benar. Sudahlah, silogisme itu kubur saja di sisi makam Aristoteles. Apalagi kesimpulannya, jangan dipikirkan.” Kira-kira itu saran Jacques Derrida “si buruk rupa”. Cerdas. Derrida berpikir radikal. Tapi, Derrida keburu mati sebelum tahu siapa orang yang kekal di dunia ini.

Mulai Plato yang filosof hingga ki Joko Bodo yang dukun, tak mampu menjelaskan kematian dengan kata-kata. Seatraktif apapun ia, semua ujaran hanya mampu menggambarkan saja. Sejak ilmu perdukunan hingga ilmu medis, sejak filsafat hingga racau-racau para pengaku pujangga tak bisa menemukan jawaban pasti; apa sebab kematian?

Catatan ini terlepas dari pengaruh teologi yang kita anuti masing-masing tentang kematian itu.
Kita Hanya diingatkan dua kutub yang kadang perlu kita renungkan, HIDUP dan MATI.

0 komentar:

Posting Komentar